Kecintaan Kamila Andini kepada film dimulai saat Ia masih remaja dan hal itu mengantarkannya ke Melbourne untuk belajar, ke berbagai festival di seluruh dunia untuk menampilkan karyanya, dan sekarang untuk penampilan pertamanya sebagai juri ReelOzInd! 2020.
“Saya mulai belajar di SMA ketika bioskop di Indonesia sedang naik daun pasca reformasi, setelah sebelumnya mati selama era order baru.”
Ini, katanya, juga merupakan era perubahan digital dan, terima kasih untuk kamera perekam yang baru, “bangkitnya bioskop Indonesia dirayakan banyak anak muda [dengan] membuat film-film pendek.”
“Film pendek… adalah media untuk memahami diri sendiri; untuk menjadi ceria, untuk menjadi bebas,” ungkapnya. “Kamu membuat beberapa kesalahan dengan film pendek namun terkadang kesalahan tersebut berubah menjadi hal paling indah yang pernah kamu buat.”
Film pertama Kamila, ‘The Mirror Never Lies’ (Laut Bercermin, 2011) ditayangkan di berbagai festival di seluruh dunia. Film keduanya, ‘The Seen and Unseen’ (Sekala Niskala, 2017), ditayangkan perdana di Festival Film Internasional Toronto dan sejak itu menjajaki lebih dari 30 festival di berbagai penjuru dunia dan menerima banyak penghargaan. Baru-baru ini film tersebut diadaptasi sebagai pertunjukan teater tari yang dipertunjukkan di AsiaTOPA di Melbourne pada Februari 2020 – Ia merasa sangat beruntung turnya berlangsung sebelum keadaan tidak menentu.
Kamila lahir di Jakarta dan menyelesaikan pendidikannya dalam bidang Sosiologi dan Seni Media di Deakin University di Melbourne.
“Saya pergi ke Australia seorang diri saat berusia 16 tahun, tepat setelah lulus SMA,” ungkapnya. “Sejujurnya Saya tidak tahu apapun tentang Australia sebelumnya. Satu hal yang paling cepat Saya tangkap adalah multikulturalismenya. Australia juga menyediakan banyak akses ke bioskop dunia, seni dan teater… Surga.”
Selamat datang Kamila, dan terima kasih telah bergabung bersama kami! Lihat tanya jawab dengan Kamila dibawah ini.
Apa Anda ingat film pendek pertama yang membuat Anda terkesan?
Film pendek sangatlah besar [ketika saya belajar di sekolah menengah]. Kami memiliki banyak festival film pendek dan semangat itu telah dibawa melalui bioskop Indonesia hingga hari ini. Sebelum itu, sulit untuk mengakses film pendek. Saya ingat saya belajar banyak dari waktu itu. Film-film pendek yang paling saya perhatikan adalah film-film pendek yang dibuat oleh perusahaan film tempat saya bekerja sekarang, Fourcolours Films.
Fourcolours Films adalah komunitas film saat itu. Mereka membuat film yang menginspirasi yang dibuat dalam bahasa lokal, masing-masing berbicara tentang nasionalisme dan kemanusiaan. Mereka memiliki getaran muda dan bahasa sinematik yang sangat menyenangkan. Beberapa judul yang paling saya hargai adalah ‘Diantara Masa Lalu dan Masa Sekarang’ (Between Then and Now), dan ‘Harap Tenang ada Ujian’ (Quiet Please, Exam in Progress).
Apa yang menjadi interaksi terdekat Anda dengan Australia?
Saya memiliki banyak kenangan di Australia; Melbourne khususnya. Australia telah memberi saya kesempatan untuk mengakses bioskop dunia yang telah memengaruhi pekerjaan saya.
Saya ingat bekerja sebagai sukarelawan untuk festival film, dan suatu hari yang menakjubkan Saya kembali untuk mempresentasikan film saya sendiri. Saya menonton banyak drama selama studi saya, dan baru saja, tepat sebelum lockdown saya menyajikan pertunjukan bertema tari di panggung yang sama yang pernah Saya saksikan.
Bagaimana Anda melihat peran mendongeng dalam hubungan Australia-Indonesia?
Saya rasa sebagai negara multikultural, Australia dan Indonesia merasa kesulitan untuk mengenal satu sama lain.
Banyak orang di sini juga tidak tahu tentang Australia meskipun kami bertetangga. Tetapi melalui bercerita, kami menemukan kesamaan satu sama lain. Bagian multikultural membuat kita lebih saling memahami dan juga lebih banyak berbicara kepada dunia.
Apa yang berubah dari dunia seni karena pandemi? Apa hal ini menggeser rencana atau prioritas Anda?
Saya sangat beruntung karena baru saja menyelesaikan pembuatan film ketiga Saya dan menyelesaikan tur sebelum pandemi. Saat ini saya banyak menghabiskan waktu di belakang meja. Meskipun ini adalah periode terlama saya tidak bepergian untuk urusan pekerjaan, Saya tetap merasa beruntung.
Saya pikir saat ini pandemi memaksa setiap orang untuk hidup sebagai seorang seniman. Seluruh situasi telah mendorong kami untuk merangkul seni kehidupan, untuk terus beradaptasi agar segala sesuatu bekerja. Persis seperti itulah biasanya seniman bekerja – proses penciptaan yang tak terduga, perjalanan penerimaan, ruang untuk mencari jauh ke dalam diri kita, kepekaan untuk menangkap esensi, pentingnya bertahan hidup dan waktu untuk membentuk kembali karya dan pikiran kita lagi dan lagi.
Banyak hal akan berubah, tetapi seni selalu bergerak. Saya rasa masa sulit ini akan menghasilkan banyak kreatifitas.